Jumat, 25 Desember 2015

pendekatan makana dalam teori behavioral



MAKNA DALAM PENDEKATAN BEHAVIORAL

A.    Pengertian Makna Dalam Pendekatan Behavioral
Pernyataan dalam kajian ideasional yang berkaitan dalam memaknai kode misalnya, dalam pendekatan behavioral dianggap kajian spekulatif karena pengkaji tidak pernah mampu meneliti karakteristik idea atau pikiran penutur-pendengar, sejalan dengan aktivitas pengolahan pesan dan pemahamannya. Sebab itulah, kajian makna yang bertolak dari pendekatan behavioral mengaji makna dalam peristiwa ujaran (speech event) yang berlangsung dalam situasi tertentu (speech situation). Astuan tuturan atau unit terkecil yang mengandung makna penuh dari keseluruhan speech event yang berlangsung dalam speech situation disebut speech act.
                                                                                                            (Hymes, 1972: 56)

Penentuan makna dalam speech act menurut Searle harus bertolak dari berbagai kondisi dan situasi yang melatari pemunculannya (Searle, 1969). Unit ujaran yang berbunyi masuk! Misalnya, dapat “berarti di dalam garis” bila muncul misalnya dalam permainan bulu tangkis, “berhasil” bagi yang main lotere, “silakan ke dalam” bagi tamu dan tuan rumah, “hadir” bagi mahasiswa yang dipresensi Pak Dosen. Makna keseluruhan unit ujaran itu dengan demikian harus disesuaikan dengan latar situasi dan bentuk interaksi sosial yang mengondisinya.
Konsep yang antara lain dikembangkan oleh Austin, Hare, Searle, Alston, dll. Akhirnya juga tidak lepas dari kritik. Kritik utama, yang dating dari Chomsky, menganggap bahwa meletakkan unsur luar bahasa sejajar dengan bahasa dalam rangka menghadirkan makna, berarti menghilangkan aspek kreatif bahasa itu sendiri yang dapat digunakan untuk mengekspresikan gagasan secara bebas. Bahasa sebagai suatu system adalah “sistem dari system”. Perbendaharaaan kata atau leksikon pemakaiannya bukan hanya memperhatikan kaidah leksikal dan gramatikal, melainkan juga ditentukan oleh representasi semantik. Komponen representasi semantic yang menunjuk dunia luar pada dasarnya telah mengandung “sistem luar bahasa” itu ke dalam dirinya. Dengan demikian, konteks sosial dan situasional sebagai suatu sistem bukan berada di luar bahasa, melainkan ada di dalam dan mewarnai keseluruhan sistem kebahasaan itu (cf. McCaawley, 1978: 176).
Terdapat beberapa pandangan tokoh-tokoh tentang pendekatan behaviorisme yang dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya sebagai berikut.
B.     Penerapan Tiga Pendekatan Dalam Studi Makna
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan behavioral mengaitkan makna dengan fakta pemakaian bahasa dalam konteks sosial-situasional.
Konsep dalam pendekatan ini terus berkembang dan menebarkan pengaruhnya. Konsep dalam pendekatan ini, salah satunya tampak dalam kajian semantic yang dikembangkan oleh Halliday. Dalam judul kajiannya, Languange os Social  Semiotic: The Social Interpretation of Languange and Meaning (1978), seperti terlihat jelas pada judulnya, adalah kajian yang melihat semantik dari aspek sosialnya bahasa. Kehadiran suatu bentuk tuturan, misalnya, menurut Halliday melibatkan sejumlah tataran abstrak, meliputi Field, yakni hubungan antara bentuk kebhasaan dengan pemakaian yang selalu berada dalam konteks sosial dan situasional. Teror, yakni hubungan antara bentuk kebahasaan dengan pemeran yang memiliki ciri kondisi ikutan, baik status maupun ciri relasi, dan mode, berkaitan dengan jenis tuturan atau genre serta media penyampaiannya (Halliday, 1978: 62). Sebab itu, pemahaman makna wujud tuturan juga harus ditautkan dengan ketiga butir tersebut.
Apabila Katz dana Fodor memberikan istilah kode sebagai istilah yang mengandung pengertian wujud pemakaian bahasa yang semata-mata berkaitan dengan sistem kebahasaan itu sendiri, kaum semiotik membuat istilah signal sebagai wujud bahasa dalam pemakaian yang selain berkaitan dengan sistem kebahasaan juga berkaitan dengan unsur pemakai, maka Halliday menggunakan istilah teks. Pengertian teks dalam konsep Halliday adalah wujud pemakaian bahasa yang selain berkaitan dengan sistem kebahasaan, juga berkaitan dengan konteks sosial-situasional, pemeran maupun jenis tuturan. Halliday mengungkapkan, The concept text has no connotations of size, it may refer to speech act, speech event, topic unit, exchange, episode, narrative and so on (Halliday, 1978: 60).
Pada sisi lain, pendekatan behavioral dalam kajian semantik juga tumbuh dengan bertolak dari teori behavioris dalam psikologi. Apabila kajian semantik yang menekankan pada fakta sosial oleh Halliday disebut sosiosemantik, maka kajian semantik yang berhubungan erat dengan behaciorisme dalam psikologi biasa disebut dengan semantik behavioris atau behaviourist semantics.
Empat ciri behaviorisme secara umum ialah.
1.      Menolak konsep mentalisme yang mengkaji mind dan concept tanpa berdasar pada data sahih.
2.      Mempercayai bahwa binatang dan manusia memiliki ciri perilaku dasar yang sama sehingga tokoh behaviorisme dalam semantik, misalnya Osgood, seperti telah disinggung di awal kajian ini, juga membandingkan bahasa binatang dengan bahasa manusia.
3.      Perilaku manusia dalam berbahasa pada dasarnya bertolak dari dan dibentuk oleh faktor sosial, serta
4.      Memiliki konsep mekanisme dalam kehidupan manusia, seperti ditandai oleh adanya stimulus (S) dan respons (R) (Lyons, 1979: 120). Bloomfield, misalnya, mengungkapkan bahwa makna berada dalam situasi di mana penutur memberikan respons untuk menanggapinya. Contoh bagian di bawah ini akan memperjelas konsep makna dalam kajian Bloomfield.
S  ͢  r ...  s  ͢  R
Singkatan S berarti stimuli berupa ujaran, makna ada dalam r ... s, sedangkan R adalah tanggapan yang diberikan endengar sesuai dengan stimulasi yang diterima. Pertanyaan yang segera hadir, antara lain,
1.      Apakah makna harus ditentukan oleh adanya S dan R.
2.      Apakah makna r...s itu bisa diobservasi secara shahih, serta
3.      Apakah s harus sejajar dengan S? Lebih lanjut, kajian semantik behavioris terus disempurnakan dan berkembang antara lain ditokohi J.B. Watson, Charles Osgood, dan Roger Brown. Pengaruh psikologi behavioral pun dapat dijumpai dalam kajian semiotik Charles Morris, khususnya dalam mengkaji komponen pragmatik yang berkaitan erat dengan pemakai.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, semantik behaviorisme memiliki wilayah dengan pandangan Bloomfield yang menolak memasukkan semantik ke dalam linguistik. Kajian semnatik behavioris yang dilakukan oleh Watsom, Osgood, maupun Brown, misalnya, lebih memusatkan perhatiannya pada aspek kejiwaan penutur dan penanggap dalam upaya mengolah dan dalam proses memahami pesan. Osgood, misalnya, mengungkapkan bahwa dalam keggiatana enkoding maupun dekoding, baik penutur maupun penanggap harus mampu mengadakan proyeksi, intergrasi, serta representasi (Osgood, 1980: 25).
Kegiatan proyeksi berkaitan dengan penggambaran berbagai fitur semantis yang terdapat dalam suatu bentuk kebahasaan. Hal itu terjadi karena meskipun kata aku, saya, kami, nama diri, maupun berbagai pronomina pertama mungkin dapat saling disubstitusikan, masing-masingnya memiliki nuansa makna sendiri-sendiri. Dari berbagai bentuk dendgan berbagai makna, ditentukan isian makna yang dianngap paling tepat. Bertolak dari hasil kesimpulan itu, pemeran mengadakan integrasi. Integrasi pada diri penutur berarti menetapkan pilihan bentuk kebahasaan yang akan dipakai, sedangkan integrasi pada diri penanggap berarti menetapkan makna yang paling tepat sesuai dengan yang dimaui oleh penuturnya. Pada tataran representasi, penutur menggambarkan lewat pesan ujaran, dan pada diri penanggap berarti menguraikan kembali makna ujaran sesuai dnegan maksud penuturnya.
Agar mampu memahami pesan dengan baik, penanggap harus mampu mengadakan pembayangan, menghubungkan berbagai hasil pembayngan itu dan memilih salah satunya yang dianggap paling memiliki signifikansi dan mengadakan kesimpulan. Untuk mampu demikian, penanggap harus mampu menguasai unsur leksikon, yakni.
1.      Kosakata dari bahasa yang digunakan dalam tuturan.
2.      Operator, fungsi dan relasi setiap kata dalam pemakaian
3.      Buffer, gambaran keberadaan bahasa itu dalam berbagai pemakaian yang berada dalam simpanan ingatan.
4.      Memori, yakni simpanan ingatan yang berkaitan dengan nuansa makna setiap bentuk kebahasaan sehubungan dengan operator dan aspek leksikon (Osgood, 1980: 89).
C.    Proses Kejiwaan dan Penguasaan Lambang Dalam Pemaknaan
Dalam komunikasi sehari-hari, keempat unsur yang disebutkan Osgood di atas, bisa jadi tampil secara simultan dan spontan. Akan tetapi, ada kalanya proses mekanistis itu mengalami hambatan. Hal itu terjadi apabila penanggap menjumpai bentuk khusus yang berada di luar pembendaharaan pengalamannya dalam komunikasi keseharian. Bentuk khusus tersebut menjadi “sesuatu ynag asing” bagi penanggap, mungkin karena pilihan kata dan penataan stukturnya, acuan maknanya sudah dipertinggi, atau mungkin gambaran peristiwanya telah terasa lepas dari kehidupan rutin keseharian. Kalimat Goenawan Muhammad yang berbunyi Sang Iblis adalah kecongkakkan rohani, iman tanpa senyuman, kebenaran yang tak pernah di terkam oleh pikiran ragu, adalah salah satu contoh paparan yang mengandung tiga unsur penyebab keterasingan itu secara keseluruhan. Contoh lain, paparan demikian dapat dijumpai di dalam karya sastra, baik puisi maupun prosa fiksi.
Menjumpai peranan demikian, proses psikologis penanggap dalam upaya memahaminya menjadi rangkap. Hal itu terjadi karena kata bukan hanya berkaitan dengan denotatum, melaikan juga destignatum. Dalam kegiatan designatif , mungkin sekali terjadi pembayangan yang bertentangan, mendatangkan keraguan, dan mungkin juga absurd. Makna bukan hanya menunjuk pada sesuatu yang mempribadi, pada realitas lain yang transendetal.
Dalam situasi demikian, memory bukan hanya berkaitan dengan ingatan makna kata, relasi makna dalam stuktur maupun pemakaian, melainkan juga menunjuk pada skema konsep pada sejumlah julukan suatu fakta yang dibentuk oleh pikiran maupun pengetahuan penanggap. Dalam hal demikian itulah, konsep makna seperti yang diajukan oleh teori referensial menjadi begitu wigata. Sebab itulah penanggap yang menguasai bahasa hanya pada tataran fungsi instrumental, yakni sebagai alat dalam memenuhi kebutuhan fisis sehari-hari, akan membaca paparan itu sebagai sesuatu yang “aneh”. Dalam hal demikian, keberadaan bahasa dalam fungsi personal, heuristik, dan imajinatif, sedikit banyak sudah harus dirambah oleh enangkap.
Para kebahasaan seperti di atas akan menjadi semakin komples bila sudah beradadalam karya puisi. Apabila pada paparan Goenawan itu jarak pembayangan belum begitu jauh, maka dalam paparan puisi yang begitu metaforis, pembayangan sudah menunjuk pada jarak realitas, jarak ruang maupun jarak waktu yang demikian jauh. Pernyataan itu dapat dikaji lewat contoh puisi berjudul “Hari pun Tiba” karya Sapardi Djokodamono seperti dikutif di bawah ini.
            hari pun tiba. Kita berkemas senantiasa
            kita berkemas sementara jarum melewati angka-angka
            kau pun menyapa : kemana kita
            tiba-tiba terasa musim mulai menanggalkan daun-daunnya
            tiba-tiba terasa kita tak sanggup menyelesaikan kata
            tiba-tiba terasa bahwa hanya tersisa gema
            sewaktu hari pun merapat
            jarum jam sibuk membilang saat-saat terlambat
Setiap pemakaian bahasa Indonesia, tidak sulit menentukan denotatum yang terdapat dalam setiap bentuk pada paparan di atas. Kata-kata seperti berkemas, jarum, menganggalkan, gema, merapat, maupun terlambat, adalah ata-kata yang makna dasar atau denotatmnya sudah biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, bagaimana designatum dari setiap kata itu setelah berada dalam pemakaian, setelah dikaitkan dengan fakta dunia luar yang diacu maupun pembayangan yang dilakukan penanggap sendiri sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki, ternyata menjadi demikian asing. Keterasingan itu terjadi karena adanya paradoksal sebagai berikut.
1.      PENYAIR : senantiasa berkemas setiap hari (Ann)
FAKTA : mansia berkemas hanya bila akan pergi (An)
PENYAIR : berkemas bersamaan dengan perjalanan waktu (Bnn)
FAKTA : manusia berkemas untuk pergi sebelum waktu perjalanan tiba (Bn)
PENYAIR : orang lain bertanya, kita mau pergi ke mana (Cnn)
FAKTA : kepergian berlangsung umumnya hanya dengan keluarga atau rang lain yang sudah akrab (Cn)
PENYAIR : tidak tahu ke mana akan pergi dan hanya merasakan adanya musim yang merontokkan dedaunan (Cnn)
FAKTA : kepergian seseorang sealu memiliki tujuan pasti (Cn)
PENYAIR : karena terdapatnya dedaunan yang dirontokkan musim, ia merasa tidak mampu menyelesaikan kata (Dnn)
FAKTA : manusia tidak pernah merasa kesulitan menyelesaikan kata meskipun ada daun rontok (Dn)
PENYAIR : kata yang tidak sangup diselesaikan itu mendatangkan gema (Enn)
FAKTA : kata yang diucapkan manusia tanpa alat bantu tidak mampu mendatangkan gema (En)
PENYAIR : hari merapat (Fnn)
FAKTA : hari yang satu dengan yang lain memiliki pembagian (Fn)
PENYAIR : waktu dapat menghitung saat-saat yang terlambat (Gnn)
FAKTA : waktu tidak pernah dapat menghitung dan merupakan rentangan yang dapat diisi oleh kehidupan manusia (Gn)
Dari pemerian di atas dapat diketahui bahwa kode dalam puisi selain telah menunjuk pada fakta tertentu sehingga A adalah n, B adalah n, C adalah n, kode itu juga masih menunjuk pada fakta yang lain sehingga A adalah n 1,2,3.... n, B adalah n 1,2,3, ... n, seterusnya. Dengan demikian lambang dalam kode, selain berciri cengkok atau presciptive, juga berciri buar atau apparaive. Untuk itu, dalam kajian ini digunakan istilah lambang cengkok, yakni sebagai kode yang menunjukan pada acuan dasar, dan lambang buar, yakni lambang sebagai kode yng menunjuk pada berbagai acuan lain selain acuan dasarnya. Pengertian istilah itu pada dasarnya sama dengan istilah presciptive signs dan apparaisive signs yang digunakan dalam kajian semiotik Charles Morris (Posner, 1982 : 4).
Akibat adanya lambang cengkok dan lambang buar akhirnya kode dalam puisi, misalnya kata, memiliki sistem belah dua berl61awanan atau binary sistem oppositions (cf, Eagleton, 1983: 132). Contoh dalam pemerian di atas, misalnya, An -- Ann. Meskipun demikian, dari terdapatnya kata sistem dapat dipahami bahwa pertentangan itu sebenarnya juga menunjukan adanya saling hubungan. Dengan demikian, meskipun designatum lambang buar menunjuk pada berbagai kemungkinan makna, designatum itu sebenarnya tidak lepas dari denotatumnya sehingga pembaruan yang dihaslkan antara yang saru dengan yang lain saling berhubungan.[1]
D.    PRINSIP DASAR BEHAVIORISME
Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai perwujudan dari jiwa atau mental yang abstrak. Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah pseudo problem untuk sciene, harus dihindari.
Penganjur utama adalah Watson : overt, observable behavior, adalah satu-satunya subyek yang sah dari ilmu psikologi yang benar.
Dalam perkembangannya, pandangan Watson yang ekstrem ini dikembangkan lagi oleh para behaviorist dengan memperluas ruang lingkup studi behaviorisme dan akhirnya pandangan behaviorisme juga menjadi tidak seekstrem Watson, dengan mengikutsertakan faktor-faktor internal juga, meskipun fokus pada overt behavior tetap terjadi.
Aliran behaviorisme juga menyumbangkan metodenya yang terkontrol dan bersifat positivistik dalam perkembangan ilmu psikologi.
Banyak ahli (a.l. Lundin, 1991 dan Leahey, 1991) membagi behaviorisme ke dalam dua periode, yaitu behaviorisme awal dan yang lebih belakangan.









[1]Aminuddin. SEMANTIK pengantar studi tentang makna. Bandung: Sinar Baru Algensindo. 2008. Hal, 61 

1 komentar:

  1. Harrah's Hotel and Casino Las Vegas - Mapyro
    Harrah's Hotel and Casino is a resort 전라남도 출장안마 located on the 익산 출장마사지 Las Vegas Strip. 계룡 출장안마 The property is located on the 문경 출장안마 corner of 183rd and 광주 출장안마 Spring Road, just a short

    BalasHapus