malam ini adalah malam ke dua terakhir di tahun 2015, tak banyak yang aku dapat ungkapkan, terima kasih untuk kesedihan, kesenangan, kebahagiaan, canda tawa sedih suka duka....
daannn.... semuanyahhh.....
aku bersyukur bisa bernafas dalam keadaan yang insyaallah Allah masih memberik kesehatan kepadaku, entah besok atau lusa, ntah kapan aku tak dapat menapaki dunia ini, hanya maaf ampun dari segala dosa dan perbuatan baik dalam keadaan sesadar-sadarnya aku, maupun dalam keadaan yang tidak sadar. aku tahu, begitu banyak luka yang menancap, kebahagiaan yang menyelimuti ruang lingkupku selama ini, banyak pelajaran yang begitu berharga.....dan aku harus menyikapinya, lalu merenung sejenak, dan mulai go.....perbaki.
oke baiklah... selamat tinggal 2015, atas kenangan yang begitu berharga bagiku, meskipin itu pahit seprti kopi dalam cangkir bling yang kuat akan rasa dan aroma hitamnnya.. begitupun hidup terimakasih atas warna yang datang silih berganti.
kali ini resolusiku di tahun 2016, aku harus mulai step by step untuk memperbaiki semuanya.
kerjakan lagi lebih keras, panatng mengeluh pantang menjadi beban dan lain lainnya..................
#lagi ngantuk ceritanya jd kepotong-potong,, tak apa yang penting aku maunmenceritakan apayang ada dallam benakku...see you hoammmzzzz................
Rabu, 30 Desember 2015
Jumat, 25 Desember 2015
pendekatan makana dalam teori behavioral
MAKNA DALAM PENDEKATAN BEHAVIORAL
A.
Pengertian Makna Dalam Pendekatan Behavioral
Pernyataan
dalam kajian ideasional yang berkaitan dalam memaknai kode misalnya, dalam
pendekatan behavioral dianggap kajian spekulatif karena pengkaji tidak pernah
mampu meneliti karakteristik idea atau pikiran penutur-pendengar, sejalan
dengan aktivitas pengolahan pesan dan pemahamannya. Sebab itulah, kajian makna
yang bertolak dari pendekatan behavioral mengaji makna dalam peristiwa ujaran
(speech event) yang berlangsung dalam situasi tertentu (speech situation).
Astuan tuturan atau unit terkecil yang mengandung makna penuh dari keseluruhan
speech event yang berlangsung dalam speech situation disebut speech act.
(Hymes,
1972: 56)
Penentuan makna dalam speech act menurut Searle harus bertolak dari
berbagai kondisi dan situasi yang melatari pemunculannya (Searle, 1969). Unit
ujaran yang berbunyi masuk! Misalnya, dapat “berarti di dalam garis”
bila muncul misalnya dalam permainan bulu tangkis, “berhasil” bagi yang main
lotere, “silakan ke dalam” bagi tamu dan tuan rumah, “hadir” bagi mahasiswa
yang dipresensi Pak Dosen. Makna keseluruhan unit ujaran itu dengan demikian
harus disesuaikan dengan latar situasi dan bentuk interaksi sosial yang
mengondisinya.
Konsep yang
antara lain dikembangkan oleh Austin, Hare, Searle, Alston, dll. Akhirnya juga
tidak lepas dari kritik. Kritik utama, yang dating dari Chomsky, menganggap
bahwa meletakkan unsur luar bahasa sejajar dengan bahasa dalam rangka
menghadirkan makna, berarti menghilangkan aspek kreatif bahasa itu sendiri yang
dapat digunakan untuk mengekspresikan gagasan secara bebas. Bahasa sebagai
suatu system adalah “sistem dari system”. Perbendaharaaan kata atau leksikon pemakaiannya
bukan hanya memperhatikan kaidah leksikal dan gramatikal, melainkan juga
ditentukan oleh representasi semantik. Komponen
representasi semantic yang menunjuk dunia luar pada dasarnya telah mengandung
“sistem luar bahasa” itu ke dalam dirinya. Dengan demikian, konteks sosial dan
situasional sebagai suatu sistem bukan berada di luar bahasa, melainkan ada di
dalam dan mewarnai keseluruhan sistem kebahasaan itu (cf. McCaawley, 1978:
176).
Terdapat beberapa pandangan
tokoh-tokoh tentang pendekatan behaviorisme yang dikemukakan oleh beberapa
ahli, diantaranya sebagai berikut.
B. Penerapan Tiga Pendekatan Dalam Studi Makna
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan behavioral mengaitkan makna
dengan fakta pemakaian bahasa dalam konteks sosial-situasional.
Konsep
dalam pendekatan ini terus berkembang dan menebarkan pengaruhnya. Konsep dalam
pendekatan ini, salah satunya tampak dalam kajian semantic yang dikembangkan
oleh Halliday. Dalam judul kajiannya, Languange os Social Semiotic: The Social Interpretation of
Languange and Meaning (1978), seperti terlihat jelas pada judulnya, adalah
kajian yang melihat semantik dari aspek sosialnya bahasa. Kehadiran suatu bentuk
tuturan, misalnya, menurut Halliday melibatkan sejumlah tataran abstrak,
meliputi Field, yakni hubungan antara bentuk kebhasaan dengan pemakaian
yang selalu berada dalam konteks sosial dan situasional. Teror, yakni
hubungan antara bentuk kebahasaan dengan pemeran yang memiliki ciri kondisi
ikutan, baik status maupun ciri relasi, dan mode, berkaitan dengan jenis
tuturan atau genre serta media penyampaiannya (Halliday, 1978: 62). Sebab itu,
pemahaman makna wujud tuturan juga harus ditautkan dengan ketiga butir
tersebut.
Apabila Katz dana Fodor memberikan istilah kode
sebagai istilah yang mengandung pengertian wujud pemakaian bahasa yang
semata-mata berkaitan dengan sistem kebahasaan itu sendiri, kaum semiotik
membuat istilah signal sebagai wujud bahasa dalam pemakaian yang selain
berkaitan dengan sistem kebahasaan juga berkaitan dengan unsur pemakai, maka
Halliday menggunakan istilah teks. Pengertian teks dalam konsep
Halliday adalah wujud pemakaian bahasa yang selain berkaitan dengan sistem
kebahasaan, juga berkaitan dengan konteks sosial-situasional, pemeran maupun
jenis tuturan. Halliday mengungkapkan, The concept text has no connotations
of size, it may refer to speech act, speech event, topic unit, exchange,
episode, narrative and so on (Halliday, 1978: 60).
Pada sisi lain, pendekatan behavioral dalam
kajian semantik juga tumbuh dengan bertolak dari teori behavioris dalam
psikologi. Apabila kajian semantik yang menekankan pada fakta sosial oleh
Halliday disebut sosiosemantik, maka kajian semantik yang berhubungan
erat dengan behaciorisme dalam psikologi biasa disebut dengan semantik
behavioris atau behaviourist semantics.
Empat ciri behaviorisme secara umum ialah.
1. Menolak konsep mentalisme yang mengkaji mind dan concept tanpa
berdasar pada data sahih.
2. Mempercayai bahwa binatang dan manusia memiliki ciri perilaku dasar yang
sama sehingga tokoh behaviorisme dalam semantik, misalnya Osgood, seperti telah
disinggung di awal kajian ini, juga membandingkan bahasa binatang dengan bahasa
manusia.
3. Perilaku manusia dalam berbahasa pada dasarnya bertolak dari dan dibentuk
oleh faktor sosial, serta
4. Memiliki konsep mekanisme dalam kehidupan manusia, seperti ditandai oleh
adanya stimulus (S) dan respons (R) (Lyons, 1979: 120). Bloomfield, misalnya,
mengungkapkan bahwa makna berada dalam situasi di mana penutur memberikan
respons untuk menanggapinya. Contoh bagian di bawah ini akan memperjelas konsep
makna dalam kajian Bloomfield.
S
͢ r ... s
͢ R
Singkatan S berarti stimuli berupa ujaran,
makna ada dalam r ... s, sedangkan R adalah tanggapan yang diberikan endengar
sesuai dengan stimulasi yang diterima. Pertanyaan yang segera hadir, antara
lain,
1. Apakah makna harus ditentukan oleh adanya S dan R.
2. Apakah makna r...s itu bisa diobservasi secara shahih, serta
3. Apakah s harus sejajar dengan S? Lebih lanjut, kajian semantik behavioris
terus disempurnakan dan berkembang antara lain ditokohi J.B. Watson, Charles
Osgood, dan Roger Brown. Pengaruh psikologi behavioral pun dapat dijumpai dalam
kajian semiotik Charles Morris, khususnya dalam mengkaji komponen pragmatik
yang berkaitan erat dengan pemakai.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, semantik
behaviorisme memiliki wilayah dengan pandangan Bloomfield yang menolak
memasukkan semantik ke dalam linguistik. Kajian semnatik behavioris yang
dilakukan oleh Watsom, Osgood, maupun Brown, misalnya, lebih memusatkan
perhatiannya pada aspek kejiwaan penutur dan penanggap dalam upaya mengolah dan
dalam proses memahami pesan. Osgood, misalnya, mengungkapkan bahwa dalam
keggiatana enkoding maupun dekoding, baik penutur maupun penanggap harus mampu
mengadakan proyeksi, intergrasi, serta representasi (Osgood,
1980: 25).
Kegiatan proyeksi berkaitan dengan
penggambaran berbagai fitur semantis yang terdapat dalam suatu bentuk
kebahasaan. Hal itu terjadi karena meskipun kata aku, saya, kami, nama diri,
maupun berbagai pronomina pertama mungkin dapat saling disubstitusikan,
masing-masingnya memiliki nuansa makna sendiri-sendiri. Dari berbagai bentuk
dendgan berbagai makna, ditentukan isian makna yang dianngap paling tepat.
Bertolak dari hasil kesimpulan itu, pemeran mengadakan integrasi. Integrasi
pada diri penutur berarti menetapkan pilihan bentuk kebahasaan yang akan
dipakai, sedangkan integrasi pada diri penanggap berarti menetapkan makna yang
paling tepat sesuai dengan yang dimaui oleh penuturnya. Pada tataran
representasi, penutur menggambarkan lewat pesan ujaran, dan pada diri penanggap
berarti menguraikan kembali makna ujaran sesuai dnegan maksud penuturnya.
Agar mampu memahami pesan dengan baik,
penanggap harus mampu mengadakan pembayangan, menghubungkan berbagai hasil
pembayngan itu dan memilih salah satunya yang dianggap paling memiliki
signifikansi dan mengadakan kesimpulan. Untuk mampu demikian, penanggap harus
mampu menguasai unsur leksikon, yakni.
1. Kosakata dari bahasa yang digunakan dalam tuturan.
2. Operator, fungsi dan relasi setiap kata dalam pemakaian
3. Buffer, gambaran keberadaan bahasa itu dalam berbagai pemakaian yang berada
dalam simpanan ingatan.
4. Memori, yakni simpanan ingatan yang berkaitan dengan nuansa makna setiap
bentuk kebahasaan sehubungan dengan operator dan aspek leksikon (Osgood, 1980:
89).
C. Proses Kejiwaan dan Penguasaan Lambang Dalam Pemaknaan
Dalam komunikasi sehari-hari, keempat unsur
yang disebutkan Osgood di atas, bisa jadi tampil secara simultan dan spontan.
Akan tetapi, ada kalanya proses mekanistis itu mengalami hambatan. Hal itu
terjadi apabila penanggap menjumpai bentuk khusus yang berada di luar
pembendaharaan pengalamannya dalam komunikasi keseharian. Bentuk khusus
tersebut menjadi “sesuatu ynag asing” bagi penanggap, mungkin karena pilihan
kata dan penataan stukturnya, acuan maknanya sudah dipertinggi, atau mungkin
gambaran peristiwanya telah terasa lepas dari kehidupan rutin keseharian.
Kalimat Goenawan Muhammad yang berbunyi Sang Iblis adalah kecongkakkan rohani,
iman tanpa senyuman, kebenaran yang tak pernah di terkam oleh pikiran ragu,
adalah salah satu contoh paparan yang mengandung tiga unsur penyebab
keterasingan itu secara keseluruhan. Contoh lain, paparan demikian dapat
dijumpai di dalam karya sastra, baik puisi maupun prosa fiksi.
Menjumpai peranan demikian, proses psikologis
penanggap dalam upaya memahaminya menjadi rangkap. Hal itu terjadi karena kata
bukan hanya berkaitan dengan denotatum, melaikan juga destignatum. Dalam
kegiatan designatif , mungkin sekali terjadi pembayangan yang bertentangan,
mendatangkan keraguan, dan mungkin juga absurd. Makna bukan hanya menunjuk pada
sesuatu yang mempribadi, pada realitas lain yang transendetal.
Dalam situasi demikian, memory bukan hanya
berkaitan dengan ingatan makna kata, relasi makna dalam stuktur maupun
pemakaian, melainkan juga menunjuk pada skema konsep pada sejumlah julukan
suatu fakta yang dibentuk oleh pikiran maupun pengetahuan penanggap. Dalam hal
demikian itulah, konsep makna seperti yang diajukan oleh teori referensial
menjadi begitu wigata. Sebab itulah penanggap yang menguasai bahasa hanya pada
tataran fungsi instrumental, yakni sebagai alat dalam memenuhi kebutuhan fisis
sehari-hari, akan membaca paparan itu sebagai sesuatu yang “aneh”. Dalam hal
demikian, keberadaan bahasa dalam fungsi personal, heuristik, dan imajinatif,
sedikit banyak sudah harus dirambah oleh enangkap.
Para kebahasaan seperti di atas akan menjadi
semakin komples bila sudah beradadalam karya puisi. Apabila pada paparan
Goenawan itu jarak pembayangan belum begitu jauh, maka dalam paparan puisi yang
begitu metaforis, pembayangan sudah menunjuk pada jarak realitas, jarak ruang
maupun jarak waktu yang demikian jauh. Pernyataan itu dapat dikaji lewat contoh
puisi berjudul “Hari pun Tiba” karya Sapardi Djokodamono seperti dikutif di
bawah ini.
hari pun
tiba. Kita berkemas senantiasa
kita
berkemas sementara jarum melewati angka-angka
kau pun
menyapa : kemana kita
tiba-tiba
terasa musim mulai menanggalkan daun-daunnya
tiba-tiba
terasa kita tak sanggup menyelesaikan kata
tiba-tiba
terasa bahwa hanya tersisa gema
sewaktu
hari pun merapat
jarum
jam sibuk membilang saat-saat terlambat
Setiap pemakaian bahasa Indonesia, tidak sulit menentukan
denotatum yang terdapat dalam setiap bentuk pada paparan di atas. Kata-kata
seperti berkemas, jarum, menganggalkan, gema, merapat, maupun terlambat, adalah
ata-kata yang makna dasar atau denotatmnya sudah biasa digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, bagaimana designatum dari setiap kata itu
setelah berada dalam pemakaian, setelah dikaitkan dengan fakta dunia luar yang
diacu maupun pembayangan yang dilakukan penanggap sendiri sesuai dengan
pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki, ternyata menjadi demikian asing.
Keterasingan itu terjadi karena adanya paradoksal sebagai berikut.
1. PENYAIR : senantiasa berkemas setiap hari (Ann)
FAKTA : mansia berkemas hanya bila akan pergi (An)
PENYAIR : berkemas bersamaan dengan perjalanan
waktu (Bnn)
FAKTA : manusia berkemas untuk pergi sebelum
waktu perjalanan tiba (Bn)
PENYAIR : orang lain bertanya, kita mau pergi
ke mana (Cnn)
FAKTA : kepergian berlangsung umumnya hanya
dengan keluarga atau rang lain yang sudah akrab (Cn)
PENYAIR : tidak tahu ke mana akan pergi dan
hanya merasakan adanya musim yang merontokkan dedaunan (Cnn)
FAKTA : kepergian seseorang sealu memiliki
tujuan pasti (Cn)
PENYAIR : karena terdapatnya dedaunan yang
dirontokkan musim, ia merasa tidak mampu menyelesaikan kata (Dnn)
FAKTA : manusia tidak pernah merasa kesulitan
menyelesaikan kata meskipun ada daun rontok (Dn)
PENYAIR : kata yang tidak sangup diselesaikan
itu mendatangkan gema (Enn)
FAKTA : kata yang diucapkan manusia tanpa alat
bantu tidak mampu mendatangkan gema (En)
PENYAIR : hari merapat (Fnn)
FAKTA : hari yang satu dengan yang lain
memiliki pembagian (Fn)
PENYAIR : waktu dapat menghitung saat-saat
yang terlambat (Gnn)
FAKTA : waktu tidak pernah dapat menghitung
dan merupakan rentangan yang dapat diisi oleh kehidupan manusia (Gn)
Dari pemerian di atas dapat diketahui bahwa kode dalam
puisi selain telah menunjuk pada fakta tertentu sehingga A adalah n, B adalah
n, C adalah n, kode itu juga masih menunjuk pada fakta yang lain sehingga A
adalah n 1,2,3.... n, B adalah n 1,2,3, ... n, seterusnya. Dengan demikian
lambang dalam kode, selain berciri cengkok atau presciptive, juga berciri buar
atau apparaive. Untuk itu, dalam kajian ini digunakan istilah lambang cengkok,
yakni sebagai kode yang menunjukan pada acuan dasar, dan lambang buar, yakni
lambang sebagai kode yng menunjuk pada berbagai acuan lain selain acuan
dasarnya. Pengertian istilah itu pada dasarnya sama dengan istilah presciptive
signs dan apparaisive signs yang digunakan dalam kajian semiotik Charles Morris
(Posner, 1982 : 4).
Akibat adanya lambang cengkok dan lambang buar
akhirnya kode dalam puisi, misalnya kata, memiliki sistem belah dua berl61awanan atau binary sistem oppositions (cf, Eagleton, 1983: 132). Contoh
dalam pemerian di atas, misalnya, An -- Ann. Meskipun demikian, dari terdapatnya kata sistem dapat
dipahami bahwa pertentangan itu sebenarnya juga menunjukan adanya saling
hubungan. Dengan demikian, meskipun designatum lambang buar menunjuk pada
berbagai kemungkinan makna, designatum itu sebenarnya tidak lepas dari
denotatumnya sehingga pembaruan yang dihaslkan antara yang saru dengan yang
lain saling berhubungan.[1]
D.
PRINSIP DASAR BEHAVIORISME
Perilaku nyata dan terukur memiliki
makna tersendiri, bukan sebagai perwujudan dari jiwa atau mental yang abstrak.
Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah pseudo
problem untuk sciene, harus dihindari.
Penganjur utama adalah Watson :
overt, observable behavior, adalah satu-satunya subyek yang sah dari ilmu
psikologi yang benar.
Dalam perkembangannya, pandangan
Watson yang ekstrem ini dikembangkan lagi oleh para behaviorist dengan
memperluas ruang lingkup studi behaviorisme dan akhirnya pandangan behaviorisme
juga menjadi tidak seekstrem Watson, dengan mengikutsertakan faktor-faktor
internal juga, meskipun fokus pada overt behavior tetap terjadi.
Aliran behaviorisme juga
menyumbangkan metodenya yang terkontrol dan bersifat positivistik dalam
perkembangan ilmu psikologi.
Banyak ahli (a.l. Lundin, 1991 dan
Leahey, 1991) membagi behaviorisme ke dalam dua periode, yaitu behaviorisme
awal dan yang lebih belakangan.
Sabtu, 12 Desember 2015
Tafsir Hadits
Bissmillahirohmanirohim
قل هو الله احد.الله ااصمد ,لم يلد ولم يولد ,ولم يكن له كفوا احد ,
Ayat diatas mengatakan
katakanlah : katakanlah , wahai Nnabi Muhammad, kepada yang bertanya kepadamu
bahkan siapapun bahwa Dia Yang Wajib
wujud-Nya dan yang berhak disembah adalah Allah Tuhan yang maha esa.
Kata ( قل ) qul/katakanlah
membuktikan bahwa Nabi Muhammad saw. Menyampaikan segala sesuatu diterimanya
dari ayat-ayat al-qur’an yang disampaikan oleh Malaikat Jibril as.
Seandainya ada sesuatu yang
disembunyikan atau tidak disampaikan, yang paling wajar untuk itu adalah
semacam kata qul ini.
Kata( هو )
huwa/biasa diterjemahkan Dia. Berfungsi untuk menunjukan betapa penting
kandungan reaksi berikutnya, yakni : Allah Ahad. Kata ( هو)
Huwa disini dinamai dhamir asy-sya’n atau al-qishshah atau Al-hal. Menurut
Mutawalli asy-Sya’rawi, allah adalah gaib, tetapi kegaiban-Nya itu mencapai
tingkat syahadatl nyata melalui ciptaan-Nya. Dengan demikian jika anda berkata
Huwa/Dia, ketika itu juga anda bagaikan berkata bahwa al-Hal (keadaan) yang
sebenarnya adalah Allah Maha Esa. Kata Huwa disini menunjukan Allah gaib, Dia
gaib karena Dia Cahaya, dengan cahaya anda melihat sesuatu , tetapi dia sendiri
tidak dilihat sampai ada cahaya yang melebihi-Nya, Allah maha wajar jika kita tidak
melihatnya. Seandainya dia terlihat, hakikatnya diketahui dan Dia terjangkau
maka Dia tidak wajar lagi dipertuhan.para tafsir al-qasimi, memahami kata ( هو)
Huwa berfungsi sebagai menekannkan kebenaran , yakni apa yang disampaikan itu
merupakan berita yang benar dan yang haq dan didukung oleh bukti-bukti yang
tidak diragukan.
Kata ( الله )
Allah adalah nama bagi suatu Wujud Mutlak, yang berhak disembah, pencipta,
pemelihara, dan pengatur seluruh jagat raya.
Ada yang mengatakan bahwa ia adalah
nama yang tidak terampil dari satu akar kata tertentu, dan ada juga yang
menyatakan bahwa ia terampil dari kata (
اله ) aliha yang brerarti
mengherankan, menakjubkan. Karena setiap perbuatan-Nya menakjubkan, dan ada
juga yang berpendapat bahwa kata ilah terambil dari akar kata yang berarti
ditaati karena Allah atau Tuhan selalu ditaati.
Kata ( احد )ahad/esa
terambil dari akar kata (وحدة ) wahdah/kesatuan seperti
juga kata wahid yang berarti satu.
Kata ( احد )ahad bisa berfungsi sebagai nama dan bisa
juga sebagai sifat bagi sesuatu. Kata ( احد )ahad
berfungsi sebagai nama sifat Allah yang artinya bahwa Allah memiliki sifat
tersendiri yang tidak memiliki oleh selain-Nya.
Allah memang disifati juga dengan
kata Wahid seperti antara lain dalam firman-Nya
والهكم اله واحد لااله الا هوالرحمن الرحيم
Tuhanmu adalah tuhan yang wahid,
tiada tuhan selain Dia, Dia yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’’
Q.S
al-Baqarah 163
Wahid pada ayat al-baqarah itu
menunjukan kepada keesaan zat-Nya disertai dengan keragaman sifat-sifat-Nya.
Kata ( الصمد ) ash-shamad terambil
dari kata kerja ( صمد ) shamad yang berarti menuju,
ash-shamad adalah kata jadian yang berarti yang dituju. Kata ( الصمد) ash-shamad berbentuk
ma’rifah (definite) yakni dihiasi oleh alif dan lam berbeda dengan ahad
berbentuk nakirah (indefinite). Menurut ibn Taimiah, karena kata ahad tidak
digunakan kedudukannya sebagai sifat (adjektif) kecuali terhadap Allah sehingga
disini tidak perlu dihiasi dengan alif dan lam berbeda dengan kata ash-shamad
yang digunakan terhadap Allah, manusia atau apapun.
Kata ( يلد )
yalid/beranak ( يولد )
yulad/dipergunakan terampil dari kata ( ولد ) walada yang digunakan
al-qur’an/menggambarkan hubungan keturunan sehingga kata (ولد )
walid, misalnya, berarti ayah dan yang dimaksud adalah ayah kandung, (ولد ) walad adalah anak kandung, ( والدة ) walidah adalah ibu
kandung, ini berbeda dengan kata ( اب
) ab yang bisa berarti ayah kandung atau ayah angkat. Beranak atau diperanakan
menjadikan adanya sesuatu yang keluar darinya dan ini mengantar kepada
terbaginya zat Tuhan, bertentangan dengan arti ahad serta bertentangan dengan
hakikat dan sifat-sifat Allah. Anak dibutuhkan oleh mahluk berakal untuk
melanjutkan eksitensinya atau untuk membantunya, sedang tuhan kekal
selama-lamanya dan tidak memerlukan bantuan.
Kata ( لمlam digunakan untuk menafikan sesuatu
yang telah lalu, yang dinafikan terlebih
dahulu adalah lam yalid/tidak beranak baru lam yulad/Tidak diperanakan. Ayat
ini menafikan segala macam kepercayaan menyangkut adanya anak atau ayah bagi
Allah swt, baik yang dianut oleh kaum musyrikin, orang-orang Yahudi, Nasrani,
Majusi, atau sementara filosof, baik anak tersebut berbentuk manusia atau
tidak. Tidak ada satupun, baik dalam imajinasi, apalagi dalam kenyataan, yang
setara dengan-Nya dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya.
Kata ( كفوا )
kufuwan terambil dari kata ( كفؤ ) kufu, yakni sama, sementara para ulam
memahami kata ini dalam arti istri,
وانه تعلى جد ربنا مااتخد صحبة ولاولدا
‘’dan bahwasannya Maha tinggi
kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (Pula) beranak’’ Q.S
al-jinn: 3
Banyak ulama memahami ayat diatas
sebagai menafikan adanya sesuatu apapun serupa dengan-Nya. Ayat ini menafikan
hal tersebut sehingga, dengan demikian, ayat terakhir ini menafikan segala
macam kemusyrikan terhadap Allah swt.
Dengan demikian surah
al-ikhlash menetapkan keesaan Allah secara murni dan menafikan segala macam
kemusyrikan terhadap-Nya. Wajar jika Rosul saw. Menilai surah ini sebagai
“Sepertiga Al-Qur’an” (HR.Malik, Bukhari
dan Muslim).
Dalam arti makna yang dikandungnya
memuat keseluruhan Al-qur’an mengandung akidah, syariat, dan ahlak, sedang
surah ini adalah puncak akidah. Maha benar Allah dalam segala firman-Nya. Wa
Allah A’alam.
Langganan:
Postingan (Atom)